Syawal 1429 H IA masih menatap undangan yang bergerak perlahan mengikuti angin. Kemudian ia menyandarkan diri di tembok dan sesekali melihat undangan yang sempat ia buka beberapa hari yang lalu. Wajahnya kusut dan memelas seperti tak ada lembaran penyambung hidup di kantongnya. Andai ia diterima kerja di pabrik bulan ini, mungkin ia bisa memperoleh pemasukan. Jika tak ada pemasukan, apa layak menghadiri pesta pernikahan? Biasanya, orang menyebut resepsi pernikahan dengan sebutan bowo. Di acara tersebut ada semacam kotak infak yang dihias sedemikian rupa hingga jauh dari kesan kotak infak itu sendiri. Malahan ada juga bentuknya seperti pot bunga yang besar sekali. Namun, fungsinya sama saja. Untuk mengisi amplop. Tapi masalahnya, mau diisi apa? Uang pun tak ada. Jika ada paling buat beli pulsa dengan nominal terendah. Apa tidak perlu datang? Ah, bukankah menghadiri undangan itu wajib? “Assalamu’alaikum.” “Waalaikumussalam.” Bejo akhirnya datang juga. Rambutnya klimis dan mengenakan baju kotak-kotak sekaligus memamerkan motor keluaran terbaru miliknya. Bahkan, plat nomornya saja belum ada. Maklum, ia sudah bekerja di pabrik dengan gaji lumayan. “Lho, belum mandi Man?” “Ya, sudahlah.” Meski wajahnya kumus- kumus, ia sudah mandi tiga jam yang lalu. Tapi tetap saja, wajahnya memang sedemikian rupa. “Jadi, datang ke nikahannya Adi, kan?” “Tentu saja.” jawabnya pelan sambil berdiri. “Ndang cepat, ganti baju sana!” dengan langkah yang berat, Rochman pergi ke dalam untuk ganti baju. Tidak sampai lima menit, ia sudah siap dan tak lupa mengambil helm yang biasa digunakan ayahnya bekerja. Helm itu tidak SNI meski bagian belakang helm tersebut ada tulisan SNI cukup besar. Orang-orang biasa menyebutnya helm cebok atau helm gayung. Karena sejarahnya, helm itu bisa dibuat gayung juga. Tapi yang mengkhawatirkan, jika lewat jalan protokol, sudah dipastikan ia akan ditilang polisi. “Nggak ada helm lain?” “Nggak ada. Ayo berangkat.” Rochman tak mempermasalahan helm itu. Tapi, Bejo waswas. Jika polisi menilang, otomatis ia yang bayar. “Kamu sakit, Man?” Bejo menghidupkan mesin motornya. “Enggak.” “Laper?” “Ya.” Candanya membuat Bejo terpingkal. Padahal, tidak lucu-lucu amat. Akhirnya, motor pun melaju dengan gesit. Jarak antara rumah Rochman menuju lokasi tujuan sebenarnya tidak terlalu jauh. Sekitar empat kilometerlah. Sedangkan Bejo rumahnya malah tak sampai 10 meter dari rumah Adi yang menikah hari ini. Bila saja Rochman tidak SMS dirinya, mungkin ia bisa jalan kaki menuju resepsi pernikahannya Adi dan lima menit kemudian, mereka berdua melewati daerah pasar tradisional. “Sebentar… berhenti dulu, Jo.” “Hah?” “Aku mau beli amplop dulu.” “Halah, Ndang cepet!” “Oke.” *** “Kok lama, Man?” “Aku ke counter hape dulu.” Perjalanan dilanjutkan kembali. Tidak sampai 10 menit, sampai juga di daerah perkampungan Ndelesep Jaya. Namanya sesuai dengan lokasinya. Ndelesep alias terpencil. Dan, nama di belakangnya ada kata “jaya” itu artinya banyak orang kaya di sana. Dan memang benar, di sana memang banyak orang berduit. Tidak sulit untuk menemui lokasi pernikahan. Suara pengeras suara yang nyaring menjadi pertanda alamat resepsi pernikahan. Suara itu semakin keras ketika langkah Bejo dan Rochman mendekat. Kalau berada di radius empat sampai lima meter, telinga akan bermasalah untuk sementara waktu. Suara sound system juga tidak hanya menggetarkan area sekitar. Namun, juga menggetarkan hati Rochman. Dan, yang pertama ia cari bukanlah kedua mempelai, melainkan semacam kotak infak yang di hias. Setelah matanya menerawang segala penjuru, ia pun segera menuju ke sana diiringi salam- salaman dengan pihak ke luarga. Dan, amplop itu masuk dengan sukses. Malu lah jika ia berikan langsung ke Adi. “Wah pasti mahal nih biaya resepsinya. Makanannya enak-enak. Ada orkes Melayu, bahkan malam harinya ada wayang juga.” Kata Bejo yang ada di belakangnya. *** Seperti biasa, keluarga yang memiliki hajatan menghitung uang yang di kotak saat pagi hari. Sesuai tradisi, uang yang ada di kotak itu bukanlah hadiah. Akan tetapi, semacam utang yang harus dibayar jika esok-esok sang pemberi amplop ada hajatan. Entah itu nikahan atau khitanan. “Lho kok iki kosong?” Seorang wanita berusia 40 tahunan yang memiliki tahi lalat di bawah hidung itu langsung mengomel. Suaranya membuat Adi yang ada di ruang tamu terkejut dan menuju ke kamar ibunya. “Ada apa toh, Bu?” “Ini ada amplop kosong. Hanya ada tulisan. Enak betul nih orang,” Adi mengambil kertas itu dan membacanya, “Selamat menempuh hidup baru. Semoga menjadi keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah.” Begitulah kira-kira isinya. “Apa itu temanmu?” tanya Ibunya. “Mungkin.” Ia sebenarnya menduga pemilik tulisan itu. Tulisan yang tidak rapih bahkan setara dengan tulisan anak kelas 2 SD namun masih dapat dibaca dengan jelas. Adi agak marah dengan amplop kosong itu. Tidak ada namanya juga. Padahal, selain amplop itu ada juga amplop yang tidak ada identitas pengirim. Tapi, isinya Rp 325 ribu dan ibunya Adi tidak mungkin mengomel kalau tak ada nama pengirim. Tentu ia bersyukur ada uang tanpa identitas. Itu artinya, uang itu rezeki dan tidak perlu dikembalikan. “Enak betul temanmu itu. Dengan amplop kosong, ia dapatkan makanan gratis, suvenir dan lain-lain.” Ibunya terus mengomel. Namun, Adi tak mempermasalahkannya, sesuai tradisi, kalau ia dapat hadiah semacam itu, ia kembalikan saja saat pemilik amplop kosong itu menikah. *** 3 Muharram 1432 H “Kenapa nikahnya pada bulan Suro seperti ini, Man?” Orang Jawa biasa menyebut Muharam dengan sebutan Suro. “Iya. Memang kenapa?” Mereka berdua asyik mencatat undangan yang akan disebar hari ini. “Bulan Suro itu bulan Muharam.” “Iya, aku tahu.” “Muharam Man..Muharam. Banyak larangan di bulan itu.” “Kata siapa memangnya? Kalau peperangan, memang diharamkan di bulan Muharram. Apa kau berpikiran kalau nikah juga diharamkan? Ah, kau ini mengada-ada.” “Kata masku sih kalau nikah bulan Suro seperti ini, nanti banyak kesialan, musibah bahkan nantinya keluarga tidak harmonis.” “Terserah kaulah. Nabi Muhammad saja nggak ngelarang. Memang masmu peramal?” “Ya nggak lah. Kau tahu sendirikan masku tukang tambal ban.” “Lha iya, kau lebih percaya masmu atau Nabi Muhammad?” “Tentu saja Nabi Muhammad Man, tapi ini bulan Suro, Man ..bulan Suro…” Rochman hanya geleng-geleng kepala melihat sahabatnya yang yakin kalau bulan Suro itu bukan bulan yang tidak baik. Padahal, tidak ada bulan baik atau bulan jelek. Hari baik dan hari jelek juga tidak ada. *** 9 Muharram 1432 H Adi masih menyimpan kertas itu. Ia memasukan ke amplop dan mengelemnya. Ia sama sekali tidak merasa aneh karena itu sudah tradisi. Seribu dibayar seribu. Kertas dibalas kertas. Kemudian di depan rumahnya ada orang yang memanggil. Seorang pemuda yang bertubuh besar dan berambut klimis. Orang biasanya memanggilnya Bejo. “Di, nggak bareng ta?” “Aku sibuk Jo… titip amplop ini saja ya.” Padahal, tidak juga. Ia hanya sungkan saja. Masa memberi amplop kosong, bisa makan gratis di sana. “Oke.” Bejo pun turun dari motor dan menerima amplop itu, tapi Bejo merasa aneh. Ia sangat peka sekali dengan uang. Seolah matanya mampu menerawang isi amplop. Bahkan, tebakannya 80 persen tepat ketika menebak jumlah uang yang ada di amplop, hanya dengan memegangnya. Entah dari mana keahlian itu ia dapatkan. “Eh, Di. Apa nggak salah? Ini bukan uang kan?” Adi kaget. Kenapa Bejo bisa tahu? “Ya, memang itu Jo. Memang berapa, hah? Kasihkan saja. Toh dulu Rochman memberikan itu.” Tidak salah jika saat sekolah dulu, Adi dikenal pelit. Tapi, tak seharusnya ia marah-marah begitu. Bejo langsung meninggalkan Adi. Ia sudah terbiasa dengan ucapan Adi. Bejo meremas amplop dan memasukannya ke sakunya. Kemudian Bejo menoleh kebelakang, “Jika kau ingin membalas dengan adil, harusnya kau berikan dua amplop. Amplop pertama isinya ucapan dan yang kedua isinya uang. Apa kau tahu Rochman menjual hape satu-satunya demi datang dan memberikan infak sebesar Rp 325 ribu ke pernikahanmu?”
Daud Insyirah
Republika, 18 Mei 2014
0 komentar:
Post a Comment