Pohon Emas

Leave a Comment

POHON EMAS


KISAH ini dimulai dari seorang bocah yang menemukan sebuah tunas berwarna keemasan di sebuah hutan. Karena kagum dan ingin menunjukkan kepada orangtuanya, ia mengambil tunas itu dengan mengeruk tanah yang ada di akar-akarnya. Lalu, dengan wadah kedua telapak tangan, ia segera berlari ke arah desa. Namun, sebelum ia menemukan orangtuanya, akar tanaman itu ternyata telah tumbuh menembus kedua telapak tangannya. *** Dengan seikat bunga di tangan, seorang gadis remaja 15 tahunan berjalan pelan memasuki hutan. Beberapa tahun lalu, kakaknya dikuburkan di sana. Dulu setiap tahun–bersama ayah dan ibu– mereka selalu datang bersama. Namun, sejak kedua orangtuanya tiada, ia tak lagi datang. Ia merasa tak terlalu mengenal kakaknya, karena ketika kakak pergi, ia masih terlalu kecil. Kini, setelah beberapa tahun lewat dan cerita-cerita kedua orangtua dan para tetangga tentang kakaknya terus diingat, ia menguatkan diri untuk datang ke hutan itu seorang diri. Namun, ia tak lagi mendapati kuburan kakaknya di situ. Hanya sebuah pohon besar berwarna keemasan yang ada di depannya. *** Beberapa detik lagi, laki-laki itu merasa akan mati! Pesawat yang ditumpanginya mulai menukik drastis. Tak ada lagi suara pramugari yang meminta penumpang tenang. Semua orang mulai berteriak-teriak menyebut nama Tuhan. Ia hanya terdiam beberapa saat. Sekilas dilihatnya jendela, ada hutan lebat di bawah sana. Tampak sebuah pohon yang terlihat berbeda dari lainnya. Pohon berwarna emas. Baru disadarinya beberapa tahun ini, setiap melewati hutan ini di udara, ia sering memperhatikan pohon itu. Ia selalu berniat mendatanginya bila senggang. Kini, pesawatnya menukik tak jauh ke arah itu. Diam-diam ia tersenyum pahit. Teriakan-teriakan makin memekakkan. Ia pun memejamkan mata dan mulai menyebut nama Tuhan. *** Beberapa tahun lalu, sejumlah peneliti dari Australia datang ke hutan itu dan menemukan pohon besar berwarna emas tersebut. Mereka begitu kagum melihat pohon itu dan berpikir telah menemukan jenis pohon baru yang belum ditemukan peneliti mana pun. Saat mengumpulkan data tentang keadaan pohon itu, salah seorang asisten peneliti itu berteriak. Ia menunjuk pada genangan di dua titik yang ada di kaki pohon. Ujarnya, aneh, ini seperti genangan air mata yang terus-menerus keluar. *** Seorang wartawan lokal yang mendengar kabar tentang pohon emas itu berupaya meliput. Ia bertanya kepada tetua desa itu. Namun dari banyaknya jawaban yang ditanyakan, hanya ada satu jawaban yang terus terngiang di benaknya. “Tak ada yang benar-benar tahu. Dulu memang ada seorang bocah yang membawa tunas pohon emas itu ke sini. Tangannya tiba-tiba ditumbuhi akar pohon itu. Tak ada yang bisa mencabutnya. Bocah itu tak mau memotong tangannya, tetapi ia tumbuh dengan pohon itu di telapaknya. Semakin lama pohon itu semakin merambat di tubuhnya hingga akhirnya menembus jantungnya. Kami kemudian menguburnya di tengah hutan sesuai keinginannya. Di situlah, pohon emas itu kemudian tumbuh…” *** Laki-laki itu pencinta pohon. Sejak beberapa bulan lalu, ia sudah berniat mendatangi pohon emas itu bersama kekasihnya. Keduanya memang sudah menjadi aktivis penyelamatan hutan sejak lama. Di tangan mereka lebih dari ribuan pohon sudah ditanam. Jadi, saat kekasihnya meninggal terlebih dahulu karena sakit, ia ingin kekasihnya dikubur di dekat pohon itu. Namun baru saja ia menguburkan tubuh kekasihnya, ia merasa angin seperti terus berhembus ke arahnya. Daun-daun tiba-tiba luruh di gundukan yang baru selesai dibuatnya. Ia menatap pohon itu tak mengerti. Entahlah, semakin ia menatap pohon itu, ia semakin terpesona olehnya. Sungguh, ini seperti kala ia menatap kekasihnya dulu. *** Ia seorang pemborong lokal yang haus proyek. Tapi ketika sebuah perusahaan sawit dari Malaysia menawari uang yang tak sedikit untuk meratakan hutan itu, ia tak bisa langsung menerimanya. Hatinya bimbang. Ia telah mendengar cerita-cerita tentang hutan itu, termasuk cerita tentang pohon emas itu. Jadi saat istrinya bertanya dengan berbinar tentang nilai proyek itu, ia hanya menggeleng lemah, “Sepertinya aku akan melepaskan pekerjaan ini. Kupikir memotong pohon emas itu bukanlah sesuatu yang baik. Kau tahu sendiri kan, bagaimana cerita pohon emas itu bermula? Aku tak mau mendapat bala karena itu.” Selesai ucapannya, istrinya melengos dan memunggunginya. *** Seorang pelukis ternama dari Prancis datang untuk melukis pohon emas itu. Ia sebenarnya sudah melihat foto-foto pohon itu di jurnal ilmiah yang diberikan kawannya. Tapi ia merasa itu tak cukup. Maka, ia memutuskan untuk datang langsung. Tapi entah mengapa, ia merasa tak pernah berhasil melukis pohon itu. Bahkan, saat salah satu lukisan jadi, ia seperti merasa goresannya tak membentuk sebuah pohon, tapi membentuk bayangan samar seorang laki-laki yang sedang dikelilingi dahan-dahan dan ranting-ranting pohon! *** Dua orang remaja itu, seorang laki-laki dan perempuan, takut masuk ke hutan. Ini pengalaman pertama mereka pergi jauh dari desa. Selama ini orangtua mereka selalu melarang masuk ke hutan itu. Tapi cerita tentang pohon emas itu, begitu membuat keduanya ingin tahu. Hingga ketakutan pun seperti dapat tertepikan. Mereka akhirnya bisa melihat pohon itu berdiri tegak di depan. Tanpa sadar kedua tangan mereka bergandengan dengan erat. Seorang dari mereka seperti bergumam, kelak bila ada yang mencintainya, ia ingin orang itu melamarnya di sini. *** Ia laki-laki yang baik dan jujur. Namun seperti sebuah kutukan, laki-laki yang baik dan jujur tak pernah menyelesaikan cintanya. Dulu ia pernah mencintai seorang sahabat, yang biasa dipanggil kawan-kawannya: gadis pohon. Tapi sahabatnya itu ternyata memilih laki-laki lain, yang selain juga seorang pencinta pohon, merupakan sahabatnya juga. Ia kalah tanpa orang-orang lain tahu kalau ia kalah. Kelak, ia mendengar sahabatnya itu meninggal dan dikuburkan oleh kekasihnya di sebuah hutan tempat pohon emas berada. Kabar itu didengarnya bersamaan dengan kabar tentang rencana sebuah perusahaan sawit yang hendak meratakan hutan tersebut. Maka, hari itu juga ia bergabung dengan demo besar-besaran menentang perambahan itu. *** Seorang rekannya yang juga merupakan pemborong dari Malaysia menawarkan diri untuk meratakan hutan itu dengan bayaran 3 kali lipat. Perusahaan sawit itu setuju. Maka dengan pekerja yang seluruhnya dari luar pulau, pengusaha Malaysia itu mulai membabati pohon-pohon itu satu per satu. Sampai ketika beberapa orang pekerja mulai mendekati pohon emas itu. Gergaji mesin mereka mulai menyentuh pohon itu. Namun bukan serbuk kayu yang kemudian bertebaran, melainkan cairan berwarna merah. Orang-orang itu menyentuh wajah mereka yang terkena cipratan cairan itu. “Ini darah! Darah!” seru seseorang dari mereka. Teriakan ini seketika bergema. Para pekerja segera berlarian dengan panik. *** Laki-laki dengan tatapan setajam mata elang itu mempelajari lagi file yang ada padanya. Sudah beberapa hari ini ia mengintai laki-laki itu. Ia sebenarnya sudah yakin itu adalah target yang diincarnya. Wajahnya sudah sesuai dengan foto yang ada padanya. Ia bahkan sudah mendapat informasi tentang LSM tempat laki-laki itu bekerja. Tak hanya itu, ia juga sudah mengikuti laki-laki itu di pertemuan-pertemuan rahasia mereka untuk merencanakan demonstrasi. Dan seperti yang sudah-sudah, bila ia sudah merasa yakin itu targetnya, pekerjaannya mungkin hanya tinggal 10% saja. Ia tinggal mendekati laki-laki itu di jalanan sepi, lalu dengan belati di tangannya, ia akan bergerak sebelum targetnya sadar. Begitu sederhana. Karena sejak dulu ia tahu, membunuh adalah bakatnya! *** Tak ada pilihan lain! Perusahaan sawit itu akhirnya membuat lowongan kerja di beberapa koran luar negeri. Ini upaya terakhir mereka. Sudah beberapa kali mereka memakai perusahaan lokal, tapi tak ada satu pun yang beres. Tahun-tahun telah terbuang percuma. Dan hasilnya: Hanya butuh 1 hari lowongan mereka ditanggapi sebuah perusahaan asing. Hanya butuh 2 hari setelah downpayment, perusahaan itu mulai bekerja memotong seluruh pohon, termasuk pohon emas itu. Dan hanya butuh 3 hari, semuanya rata dengan tanah. Tanpa ada yang tersisa. *** Dan, kisah ini saya akhiri dengan sebuah janji. Beberapa tahun setelah penebangan itu, seorang sahabat meminta saya memotret dirinya yang akan melamar gadis pujaannya. Ia sahabat saya saat kuliah di Solo. Kekasihnya, yang merupakan sahabatnya sejak kanak-kanak, berharap ia melamarnya di bawah pohon emas yang ada di sebuah hutan. Maka hari ini, kami bertiga pergi ke sana. Tapi ternyata, pohon itu sudah tak ada. Hanya sawit sejauh mata memandang. Saya melihat kekecewaan pada keduanya. Namun mata mereka kembali berbinar, saat menemukan tunas-tunas kecil berwarna keemasan di sekitar mereka berdiri. Sahabat saya mengambil sebatang tunas, yang masih dipenuhi tanah di akarnya, dan meletakkan di telapak tangannya. Kekasihnya kemudian mengulurkan telapak tangannya, berusaha menyatukan tunas pohon itu dalam telapak tangan mereka. Lalu mereka meminta saya untuk memotretnya.
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 komentar:

Post a Comment